PERJUMPAAN
HUKUM ADAT DENGAN HUKUM NEGARA,SERTA PROBLEMA YANGTIMBUL DALAM PENEGAKAN HUKUM
OLEH. Dr FIRDAUS,SH,MSc
(Dosen Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum UNTAN Pontianak)
Abstract
Enactment
of legal pluralism perspective
imagine more than
one legal system in
a country, but this
does not mean the laws of non-state by itself can
shift the position of state law and state sovereignty to
menentapkan law. This
can be explained by borrowing
ideas Chiba Masaji
a writer on legal pluralism famous, three-layer construction
of the law. Chiba
made a hypothetical framework layers of law
in a legal system that consists of a layer of
law: the law. Officially,
the law is not playing
and legal postulates.
Official law is a
law that disyah
and recognized by
the state, including local
law and religious
law in force in accordance
with state law. Unofficial law is law that is not approved
and recognized by the state, but is recognized by
the public as a public
good in the country
and who are outside the country. The law
does not formally state law affected its effectiveness.
Postulates of law is the principle or
value system that specifically relate to the
official justification for the
law or the law does not resmi.Menurut Sulityowati, further developments in optical legal pluralism, legal pluralism studies
that look at the side of the conflict has been abandoned, the study of
legal pluralism began to see
how legal pluralism
/ plurality of
law can interact with each other.
This paper gives an
exposition of the encounter customary
law with state law then how policy measures
in customs enforcement when dealing with state
law.
Keywords: Customary Law, State
Law and Legal Pluralism / Plurality
Law.
Abstrak
Persepektif pluralism hukum membayangkan
berlakunya lebih dari satu sistem hukum dalam
suatu negara, namun ini tidaklah berarti hukum-hukum non negara dengan sendirinya dapat
menggeser posisi hukum negara dan kedaulatan negara untuk menentapkan hukum. Hal ini dapat pula dijelaskan dengan meminjam pemikiran Masaji Chiba seorang
penulis tentang pluralisme hukum yang ternama, tentang tiga lapis konstruksi hukum. Chiba membuat
kerangka hipotetis lapisan-lapisan hukum dalam suatu sistem hukum lapisan hukum
tersebut terdiri dari : hukum. resmi, hukum tidak remi dan postulat hukum. Hukum resmi adalah hukum yang disyah dan diakui
oleh negara, termasuk hukum lokal
maupun hukum agama yang berlaku sesuai dengan hukum negara .
Hukum tidak
resmi adalah hukum yang tidak disyahkan dan diakui negara, tetapi diakui oleh sebagai masyarakat baik masyarakat dalam
negara maupun yang berada diluar negara. Hukum tidak resmi ini mengpengaruhi efektifitas hukum
negara. Postulat hukum adalah prinsip atau sistem nilai yang khusus berhubungan
dengan justifikasi terhadap hukum resmi atau hukum tidak resmi.Menurut
Sulistyowati, perkembangan selanjutnya
dalam optik pluralisme hukum, studi yang melihat kemajemukan hukum pada sisi konflik
sudah ditinggalkan, studi pluralisme hukum mulai melihat bagaimana kemajemukan
hukum/pluralitas
hukum dapat saling berinteraksi. Tulisan ini memberikan paparan
tentang perjumpaan hukum adat dengan hukum negara kemudian bagaimana langkah
kebijakannya dalam penegakan hukum adat ketika berhadapan dengan hukum negara.
Kata Kunci: Hukum Adat, Hukum Negara
dan Kemajemukan Hukum/Pluralitas Hukum.
1.Negara Dan Hukum
1.1. Orientasi teoretik
Konsepsi Negara-bangsa, telah diterima sebagai
perkembangan lebih lanjut dari organisasi politik manusia dalam kehidupan moderen sekarang ini. Ketika evolusi konsep negara berkembang menjadi negara
bangsa dan melahirkan negara-negara modern, peran negara dalam pembentukan
hukum dalam suatu negara telah diterima dalam praktek penyelenggaraan negara
modern. Negara mengambil alih seluruh kewenangan dan tanggung jawab untuk
menjaga ketertiban masyarakat, dari persekutuan-persekutan hidup manusia
sebelum terbentuknya negara. Hal ini berarti sejak terbentuknya negara tidak
ada lagi kelompok atau persekutuaan masyarakat yang memiliki kekuasaan yang
sama dengan kekuasaan yang dimiliki negara apalagi berada di atas negara. Dalam konteks ini, kedualatan
negara berdasarkan legitimasi konstitusionil yang diterimannya menjadi dasar bagi negara untuk
meneyelanggarkan pemerintahan negara dengan membentuk, menerapkan dan menegakan
hukum negara, dalam wilayahnya yurisdiksinya.
Filsafat politik Aristoteles. yang
memandangan kedudukan negara berada di atas persekutuan hidup lainnya,
berlanjut dan berkembang hingga abat pertengahan, melalui pemikiran-pemikiran
Thomas Hobbes, Jean Bodin, John Locke, Rousseau, Hegel[1].
dan lainya. Hobbes sebagai pencentus awal teori perjanjian masyarakat,
memandang negara dengan otoritas yang melekat padanya sebagai kekuatan yang
menciptakan kedamaian dalam masyarakat. Dalam pandangan Hobbes, dalam negaralah
manusia mendapatkan perlindungan dan dalam negara pula manusia memperoleh
haknya. Atas dasar pandangan tersebut, negara kemudia mempunyai kekuasaan
tertinggi diatas warganya.
Kekuasaan tertinggi ini dalam bahasa Bodin
disebutnya souverainite, kedaulatan
negara. Atas dasar asumsi tersebut, kemudian, Locke
maupun Mountesque, mengakui dan memberikan hak kepada negara untuk, menetapkan
hukum dan menegakan hukum dalam suatu negara melalui teori trias politika
walaupun dengan variasi yang berbeda[2].
Di bidang hukum, pemikiran-pemikiran yang menghubungkan negara dengan hukum, terus
berkembang baik oleh pemikir yang dikelompokan sebagai alirian positivisme
hukum dari John Austin hingga
Hart, maupun aliran hukum murni yang dikembangkan oleh mazhab Wina seperti Hans Kalsen. Pernyataan Austin yang menyatakan hukum
sebagai perintah penguasa, menunjukan adanya otoritas negara dalam menentapkan
hukum bagi warganya. Teori kedaulatan negara atau
dalam bahasa Austin disebitkan sebagai doctrine
of sovereignty, merupakan atribut yang melengkap suatu negara,
karena negara membutuhkan ketaatan dari warganya.
Ketaatan kepada negara ini timbul di dasarkan
atas adanya legitimasi yang dimiliki negara, sehingga menimbulkan kewajiban moral untuk mentaatinya. Panganut
Mazhab Wina, seperti Hans Kalsen[3],
lebih melihat hukum atau tata hukum
mewujudkan dirinya dalam bentuk negara, bahkan menyamakan negara dengan tatat
hukum nasional.Pemikiran filosofis tersebut menujukan, betapa kuatnya
hubunganan antara negara dan hukum. Kekuasaan negara dalam membentuk hukum dan
menegakan hukum merupakan sesuatu keniscahayaan dalam penyelengaraan negara[4].
Peran negara semakin luas dalam mengatur
warganya, ketika konsep negara terus berkembang dengan lahirnya konsep negara
hukum dan menjadi negara kesejahteraan. Negara tidak saja berkewajiban untuk
melindungi rakyat, tetapi negara juga berkewajiban untuk memanusiakan warganya, mencerdasakan warganya dan
mensejahetrakan warganya. Dalam konteks negara kesejahteraan, campur tangan
negara dalam kehidupan masyarakat semakin luas, mengikuti dinamika perkembangan
kehidupan masyarakat, baik dibidang ekonomi, politik maupun dalam bidang sosial
dan budaya. Wujud dari campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat, adalah
dengan membentuk hukum negara untuk mengatur kehidupan
warganya dalam suatu negara bangsa[5].
Dalam
konteks inilah hukum negara, sebagai hukum modern dapat diterima oleh seluruh
lapisan masyarakat, karena memiliki beberapa sifat, sebagaimana digambarkan
Brademier, sebagai berikut:
’hukum
merupakan gambaran dari nilai-nilai yang diterima secara konsensus di dalam masyarakat; hukum
menterjemahkan nilai-nilai tersebut sebagai dasar dari aturan-aturan
sosial; hukum menterjemahkan nilai-nilai
tersebut sebagai alat untuk melindungi kepentingan masyarakat; negara di dalam sistem hukum merupakan value netral; di dalam masyarakat yang jamak , hukum
menggambarkan kepentingan-kepentingan dari masyarakat secara keseluruhan yang
dapat mewakili semua kepentingan yang
berbeda-beda dari kelompok yang ada dalam masyarakat”[6].
Pandangan Bredemier tersebut, setidak-tidaknya menunjukan
beberapa hal yaitu bahwa negara berada
di atas semua golongan, karena itu negara menjembatani semua kepentingan warga
masyarakat yang berbeda kepentingan. Otoritas untuk meemberikan keamanan,
menegakan hukum serta perlindungan kepada rakyatnya menjadi bagian dari negara.
Atas dasar itu lah negara mempunyai
dasar untuk memembentuk hukum negara.
Dalam konteks kehidupan modern, barangkali tidak
ada lagi manusia atau masyarakat hidup di luar negara. Oleh karena itu Negara-bangsa mempunyai peran besar untuk
memberikan kesejahteraan dan keamanan, serta perlindung HAM kepada rakyatnya. Atas dasar
ini semua hukum negara dan kedaulatan Negara untuk memberlakukannya di semua wilayah Negara merupakan suatu keniscayaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsep negara bangsa, yang mendapatkan justifikasi dari pemikiran filsafat
politik filsuf-filsuf Yunani dan Eropa abat pertengahan, pada dekade 90-an
mulai medapat kritisi teoritik. Dalam wacana akademik, kritisi
terhadap hegemoni negara dan hukum positif di dorong oleh lahirnya suatu cabang aliran pemikiran dalam
filsafat yang menamakan dirinya aliran pemikiran post-modernism, yang mulai muncul pada awal tahun 90-an. Aliran
pemikiran post-modernism melakukan kritik filosofis
terhadap bangun ilmu pengetahuan yang berkembang dalam logika paradigma
positivistik. Seperti dikatakan oleh Lyotrad tokoh penting dalam post-modern
bahwa ilmu pengetahuan post-modern
memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat
kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau di bandingkan[7].
Aliran pemikiran post-modernism memberikan
refleksi filosofis terhadap perkembangan ilmu politik dan ilmu hukum yang memberikan dasar ilmiah atas
keberadaan negara-bangsa dan hukum negara. Dalam
konteks kritiksi post-modernism, eksistensi negara-bangsa, sebagai
bentuk negara modern yang lahir di Eropa, dan dibawa ke wilayah-wilayah
kolonial di Asia dan Afirika, seharusnya membawa kesejahteraan bagi warganya.
Namun, banyak pemerintahan
dari suatu Negara-bangsa yang gagal membawa rakyatnya dalam kemakmuran dan
bahkan terdapat pemerintahan suatu negara bangsa yang justru menindas
rakyatnya. Dalam konteks yang demikian, keberadaan negara bangsa menjadi
dipertanyakan.
Dalam ilmu hukum, aliran pemikiran post-modernism memberikan wacana baru
dalam kajian hukum. Sebagaimana di lansir oleh Santos, bahwa wacana pluralisme hukum atau legal pluralism merupakan istilah kunci dalam kajian hukum dalam
lingkup post-modern[8].
Konsep plularisme
hukum membayangkan berlakunya lebih dari satu
sistem hukum dalam
suatu negara[9].
Isu pluralisme hukum dikembangkan sebagai counter
terhadap sentralisme hukum (legal centralism), atau sistem monistik yang dijalankan
pemerintah melalui hukum negara. Pada sisi yang ekstrim pluralisme hukum di
jadikan sebagai ideologi untuk menolak berlakunya hukum negara dan memaksakan
berlakuknya hukum non negara.
Meskipun dalam persepektif pluralism hukum
membayangkan berlakunya lebih dari satu sistem hukum dalam
suatu negara, namun ini tidaklah berarti hukum-hukum non negara dengan sendirinya dapat menggeser posisi hukum
negara dan kedaulatan negara untuk menentapkan hukum. Hal ini dapat pula dijelaskan dengan meminjam pemikiran Masaji
Chiba seorang penulis tentang pluralisme hukum yang ternama, tentang tiga lapis konstruksi hukum. Chiba membuat
kerangka hipotetis lapisan-lapisan hukum dalam suatu sistem hukum lapisan hukum
tersebut terdiri dari : hukum. resmi, hukum tidak remi dan postulat hukum. Hukum resmi adalah hukum yang disyah dan diakui
oleh negara, termasuk hukum lokal
maupun hukum agama yang berlaku sesuai dengan hukum negara .
Hukum tidak resmi adalah hukum yang tidak disyahkan dan diakui negara, tetapi diakui oleh sebagai masyarakat baik masyarakat dalam
negara maupun yang berada diluar negara.
Hukum tidak resmi ini
mengpengaruhi efektifitas hukum negara. Postulat hukum adalah prinsip atau
sistem nilai yang khusus berhubungan dengan justifikasi terhadap hukum resmi
atau hukum tidak resmi[10].
Menurut Sulistyowati, perkembangan selanjutnya dalam optik
pluralisme hukum, studi yang melihat kemajemukan hukum pada sisi konflik sudah ditinggalkan, studi
pluralisme hukum mulai melihat bagaimana kemajemukan hukum dapat saling
berinteraksi[11].
1.2..Realitas
Struktur Hukum Di Indonesia
Dilihat dari kaca mata sejarah hukum, maka norma hukum dalam sistem hukum nasional Indonesia
terbentuk dari pertautan berbagai lingkaran tradisi hukum, yakni hukum asli penduduk nusantara,
hukum agama dan tradisi hukum barat yang masuk melalui proses kolonialisasi
kepulauan nusantara. Pertautan ketiga
lingkaran tradisi hukum ini
kemudian membentuk hukum nasional bersamaan dengan munculnya negara –bangsa
Indonesia.
Lahirnya sistem hukum modern, sebagai
bagian dari terbentuknya negara bangsa, tidak dengan sendirinya menghilangkan
keseluruhan dari hukum yang telah ada,
baik hukum Islam maupun hukum adat dalam kehidupan
masyarakat. Wal hasil masyarakat Indonesia dalam kehidupan sosialnya di liputi oleh ketiga lingkaran hukum yakni
hukum adat, hukum agama dan hukum negara. Dengan perkataan lain, dengan meminjam pemikiran Kalsen, bahwa hukum mengarahkan individu untuk bertindak, maka
suatu tindakan atau prilaku hukum masyarakat Indonesia selalu dilakukan dalam
pengaruh norma hukum ketiga lingkaran hukum tersebut.
Refleksi yang muncul dari ketiga lingkaran tradisi hukum terhadap sistem hukum
nasional, adalah bahwa dalam tata hukum nasional Indonesia tidaklah bersifat
monistik, namun terdapat beberapa sistem hukum lainnya selain hukum negara,
yakni sistem hukum adat maupun sistem hukum agama atau pluralitas hukum. Ketiga
sistem hukum tersebut berinteraksi dalam sistem hukum nasional, baik secara
harmoni maupu berkonflik dan menghegemoni antara satu dengan yang lainnya
sebagai akibat dari perjumpaan ketiga
hukum tersebut berada dalam medan sosial yang sama.
Akan tetapi, realitas struktur hukum
di Indonesia sebagai mana dikemukan di atas, haruslah ditempatkan dalam konteks
negara-bangsa dimana tata hukum nasional menempatkan negara pada posisi yang dominan untuk
menentukan hukum yang berlaku di wilayah Indonesia.
Ketiga lapis hukum ini berinteraksi dalam hukum nasional dengan berbagai kemungkinan
konflik atau harmonis. Meminjam pandangan Moore, ada beberapa kemungkinan yang terjadi dari
perjumpaan antara hukum negara dengan hukum non negara tersebut bertemu dalam lokal sosial yang sama
yaitu; pertama, kemungkinan akan terjadiintegrasi antara hukum negara dengan
hukum lainnya; kedua kemungkinan akan terjadi inkoorporasi, dimana
masing-masing sistem hukum tersebut saling mengodopsi bagian norma-norma tertentu dari hukum lainnya;
ketiga akan terjadi konflik, dimana masing-masing sistem hukum menolak
berlakunya sistem hukum lain selain dirinya[12].
Gambaran Moore tentang berbagai
kemungkinan yang terjadi dari perjumpaan antara hukum adat dengan hukum
negara dalam suatu lokal sosial yang sama sebagai mana tersebut di
atas, menuntut suatu sistem hukum nasional yang
dapat mencegah terjadinya konflik antara sistem hukum tersebut.
3. Konteks Kalimantan Barat
Pada bagian
tinjauan teoretik telah dikemukan, kerangka hipotes Masaji Chiba tentang tiga
lapis hukum yang terdapat dalam struktur
hukum di negara-negara Asia dan Afrika.
Ketiga lapis hukum tersebut adalah hukum resmi, hukum tidak resmi dan
postulat hukum[13].
Berdasarkan kerangka hipotetis Masaji Chiba, Retno Lukito[14],
kemudian melihat struktur hukum di
Indonesia terdiri dari tradisi hukum adat, hukum hukum Islam dan tradisi hukum
Barat.
Telah dikemukan pada bagian terdahulu bahwa
dalam pandangan penulis bahwa realitas dunia kehidupan hukum orang Indonesia
atau masyarakat Indonesia di Indonesia menunjukan terdapat tiga entitas hukum
yang hidup dalam ruang hukum nasional Indonesia yakni hukum adat, hukum agama
dan hukum negara. Ketiga entitas hukum ini bertemu dalam ruang hukum
nasional baik berkonflik maupun secara
harmoni. Norma – norma hukum dari ketiga entitas hukum ini menjadi cermin
dan memberikan arahan kepada setiap orang untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu baik dalam kehidupan pribadi
maupun dalam dunia kehidupan sosial. Oleh karena itu setiap individu kemudian
menjadi objek dan subyek dari ketiga entitas hukum tersebut secara bersamaan.
Akan tetapi, terdapat perbedaan motivasi
kepatuhan individu terhadap ketiga entitas hukum tersebut, karena hukum sangat
berkaitan dengan sistem kepercayaan, kultur dan jiwa masyarakat, sebagai mana
pandangan Savigny, salah satu pemikir
filsafat aliran atau mazhab sejarah.
Di Kalimantan Barat
perjumaan antara Hukum negara negara dengan hukum adat,sering kali terjadi terutama dengan hukum adat Suku Dayak. Perjumpaan
itu tejadi karena kedua entitas hukum itu mengatur norma hukum yang sama secara
esensial walupun dengan konstruksi hukum yang berbeda. Dalam persepsi mereka,
suatu pelanggaran hukum apakah itu dalam konteks hukum negara diklasifikasi
sebagai sengketa keperdataan atau di klasifikasi sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang,
jika korbannya orang Dayak atau menyangkut masyarakat Dayak maka perbuatan itu
adalah pelangaraan terhadap hukum adat[15]Salah
satu contoh adalah terhadap kasus-kasus
kecelakaan lalu lintas.
Dalam kasus kecelakaan
lalu-lintas jika korban yang cedera atau meninggal berasal dari masyarakat suku
Dayak, mereka menuntut penyelesaian berdasarkan hukum adat terlebih dahulu
dilakukan, setelah proses hukum adat
selesai, selanjutnya penyelesiaan berdasarkan hukum negara baru dapat
diselesaikan. Dasar mereka menggunakan
hukum adat adalah karena dalam persepsi komunitas masyarakat Dayak perbuatan
tersebut telah melanggar hukum adat, oleh karena itu harus dijatuhkan sanksi
hukum adat. Pada sisi lainnya dalam pandangan hukum negara kecelakaan
lalu-lintas yang menyebabkan korban jiwa adalah pelagaran hukum negara, oleh
karena itu menjadi tugas negara untuk menegakan hukum melalui lembaga penegak
hukum negara.
Kondisi tersebut di atas, dengan sendirinya
dapat menimbulkan konflik dengan penegak
hukum negara. Kedua entitas hukum
mengklaim memiliki yuridiksi untuk menyelesaikan kasus hukum, namun
dengan dasar legitimasi yang berbeda. Fungsionaris adat merasa memiliki
legitimasi sosiologis dari masyarakat suku Dayak untuk menegakan hukum adat
Dayak. Dalam komunitas masyarakat Dayak hukum adat merupakan hukum yang hidup
atau dalam istilah Ehrlich[16] disebutnya dengan living law dan di
diterima sebagai sarana penyelesaian konflik dalam komunitas masyarakat Dayak. Meminjam konsep sistem hukum Friedman[17], dapat di katakan bahwa hukum adat telah membentuk dirinya sebagai
suatu sistem hukum sendiri disamping hukum nasional. Hukum adat mempunyai
kelembagaan hukum untuk menegakannya, mempunyai norma-noma hukum dan didukung
oleh budaya hukum masyarakat suku Dayak yang memberikan
kepercayaan dan menerima model penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh
fungsionaris adat sebagai lembaga yang menjalankan fungsi peradilan adat mereka.
Itu pula sebanya mereka menuntut penyelesaian sengketa dengan menggunakan
mekanisme peradilan adat yang terdapat dalam hukum adat mereka, karena harapan
akan memperoleh keadilan dan kapisitas mereka untuk mendapatnya hanya terdapat
dalam peradilan adat yang terdapat dalam hukum adat mereka.
Pada sisi lainnya, institusi
penegak hukum negara juga mempunyai dasar legitimasi konstitusionil untuk
menegakan hukum negara yang berlaku secara nasional dan tidak boleh
dihalang-halangi oleh kekuatan apapun dalam masyarakat.
Pada satu sisi menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa
dengan menggunakan hukum adat pada satu
sisi mendekatkan masyarakat pada akses peradilan yang cepat dan tidak
berbelit-belit, dengan demikian proses penyelesaian sengketa berlansung dengan
singkat. Hal ini disebabkan lembaga peradilan masyarakat tersebut berada
ditengah kehidupan masyarakat dan mereka menyatu dengan lembaga tersebut.
Pemenuhan rasa keadilan dari pihak yang dirugikan akan terpenuhi ketika denda
sebagai bentuk sanksi hukuman telah di tunaikan atau dibayar kepada pihak yang
dirugikan. Oleh karena itu harapan akan
memperoleh keadilan dan kapasitas mereka untuk mendapatkan akses dalam proses peradilan itu akan mereka
peroleh dalam proses peradilan Adat.
Pada sisi lain, penggunaan hukum adat rawan akan penyimpangan terhadap hukum adat itu sendiri, seperti
penerapan hukum adat secara serampangan, penggelembungan denda adatproses
penyelesaian sengketa dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai kapasitas untuk
itu, dan perbuatan yang akan didenda dengan hukum adat tersebut telah ada
pengaturannya dalam hukum negara. Hal ini terjadi karena tidak ada otoritas
yang mengawasi peradilan Adat tersebut. Pada dimensi kehidupan bernegara ,
walaupun hukum adat dan
peradilan adat merupakan
hukum yang hidup dalam komunitas masyarakat , bagaimanpun juga hukum adat adalah
hukum dari masyarakat kesukuan dan
merupakan salah satu hukum adat dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia.
Peradilan yang berdasarkan hukum adat tersebut berada dalam ruang hukum
nasional suatu negara-bangsa Indonesia.
Oleh karena itu adanya legitimasi yuridis dari negara merupakan suatu
keniscahayaan
Atas dasar realitas perjumpaan kedua entitas
hukum tersebut perlulah kiranya di lakukan usaha untuk mengharmoniskan kedua
entitas hukum tersebut sebagai upaya mendorong budaya tertif hukum di
Kalimantan Barat.
5.Beberapa langkah Harmonisasi yang dapat dilakukan
5.1.Pengakuan terhadap Hukum adat/Peradilan Adat.
Dalam
persefekti sejarah hukum menunjukan bahwa peradilan adat atau peradilan yang
jalankan pemerintahan lokal telah di praktekan baik pada masa pra kolonialisme
maupun pada masa Hindia Belanda. Dalam masa Hindia Belanda, pengakuan terhadap
peradilan adat atau yang lebih dikenal sebagai peradilan desa baru mendapat
pengakuan yuridis dari pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1935,melalui
Statsblad 1935, No 102. Dengan statsblad 1935,No 102 terjadi penambahan terhada
RO (Rechterlijjk Organisatie) pada
pasal 3a ayat1,2 dan 3[18].
Menurut
pasal 31a, Rechterlijjk Organisatie,
seorang hakim desa (dorpsrechter) menjatuhkan keputusan menurut hukum adat (spreken recht naar adatrech). artinya
hakim menjatuhkn keputusan yang suatu perdamaian, oleh karena itu hakim desa
tidak boleh menjatuhkan hukuman (zijmogen
geen straffen opleggen )[19].
Soepomo memberikan diskripsi tentang apa yang menjadi urusan peradilan
desa sebagai berikut :
“
Hakim desa memeriksa semua perkara, yang menurut hakim adat termasuk
yurisdiksinya. Pada Umumnya adalah perkara yang lazimnya dikatakan sebagai
urusan desa. Pertama-tama itu mengenai perkara,semata-mata antar teman-teman
sedes,tentang tanah,perkawinan,mas kawin, dan urusan keluarga
lainnya,perbuatan-perbuatan pidana terhadap tatanan desa, dan sebagainya” [20]
Dalam tahun 1951, melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951, Tentang
Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelengarakan Kesatuan Susunan,
Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, Pasal 1 ayat (2 b) Pengadilan
adat (Inheemse
rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied ) akan secara berangsur-angsur
di hapuskan. Namun pada ayat (3)
menyatakan bahwa ketentuan yang tersebut
dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak
kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian
di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijk Organisatie.
Terhadap
ketentuan Pasal 1 ayat (3), Soekanto menafsirkan bahwa yang dihapuskan adalah
wadahnya dari peradilan desa tersebut, bukan kewenangan kepala desa sebagai hakim
perdamaian desa. Dalam perkembangan
selanjutnya, kewenangan kepala desa sebagai hakim perdamaian desa tidak jelas
pengaturannya. Apa lagi Undang- Undang nomor 14 tahun 1970, tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tidak menyebut sama sekali adanya
peradilan desa. Hal sama juga terjadi dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa.
Pengakuan terhadap adanya kewenangan lembaga
adat baru dilakukan pada tahun 1997 melalui
Peraturan Menteri Dalam Negereri (Permendagri) nomor 3 tahun
1997, dan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 1998. Dalam
peraturan tersebut tugas dan kewenangan
lembaga adat diatur sebagai berikut:
a).menampung
dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada Pemerintah serta menyelesaikan perselisihan
yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
b).memberdayakan, melestarikan, dan
mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka
memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan
kemasyarakatan.
c).menciptakan hubungan yang demokratis
dan harmonis serta objektif antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan
pimpinan atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.
Selanjutnya
Lembaga Adat memiliki hak dan wewenang sebagai berikut :
a). mewakili masyarakat adat ke luar.
yakni dalam hal menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat.
b) mengelola hak-hak adat dan/atau harta
kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah
hidup yang lebih layak dan lebih baik.
c).menyelesaikan perselisihan yang
menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan- kebiasaan masyarakat sepanjang
penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasca
Orde baru pengakuan terhadap hukum adat termuat dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Ketetapan MPR Nomor IV tahun 2000 Tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004. Kedua kebijakan negara ini
dengan jelas mengakui eksitensi masyarakat hukum adat dan hukum adat.[21]
Pada level konstitusional, pada tahun
2000, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), melakukan amandemen (disebut juga dengan
istilah amandemen kedua) Bab VI Pasal 18 UUD’45[22]
yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
Hasil amandemen memberikan perubahan yang cukup mendasar terhadap arah politik
hukum, baik yang berkaitan dengan arah kebijakan atau politik hukum
desentralisasi, maupun dengan eksitensi hukum adat. Pengakuan terhadap
eksitensi hukum adat tersebut tersirat dalam Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945, yang merupakan hasil amandemen
Pasal 18 UUD’45.
Amandemen terhadap Bab VI Pasal
18 UUD 1945, dilakukan MPR hampir
secara menyeluruh, baik dengan cara melakukan rekonstruksi terhadap konstruksi
hukum Pasal 18 UUD’45 orginal, maupun menambah pasal-pasal dan ayat-ayat yang
baru. Hasil amandmen pasal 18 di masukan dalam Bab VI UUDNRI dengan nomenklatur
Pemerintahan Daerah terdiri dari tiga pasal yaitu Pasal 18, Pasal 18 A dan
Pasal B. Pasal 18 B terdiri dari dua ayat yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 18B
(1)
Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2)
Negara
mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup serasi dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Konstruksi hukum Pasal 18 B ayat 2, UUDNRI 1945, menunjukan beberapa hal
penting yakni ; Pertama, negara mengakui adanya
eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak mereka dalam wilayah teritorial masyarakat hukum adat.
Mengakui eksistensi masyarakat hukum adat, pada dasarnya juga mengakui hukum
adat mereka. Masyarakat hukum adat dan hukum adat merupakan suatu entitas yang
tidak dapat dipisahkan. Kedua entitas ini saling memberikan eksistensi antara
satu dengan yang lainnya. Hukum adat melekat pada masyarakat hukum adat dan
masing-masing saling memberikan eksitensinya. Hukum adat memberikan alas hukum
atas dan hak-hak tradisionil masyarakat
hukum adat, dan mengatur kehidupan
sosial mereka. Kedua, negara memberikan suatu persyaratan yang bersisifat
sosiologis dan politik-yuridis agar masyarakat hukum adat dapat diakui oleh
negara yaitu hanya kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya yang masih hidup dan serasi dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip negara kesatuan Indonesia yang
dapat diakui negara . Ketiga, negara berada pada posisi yang dominan dalam menilai dan
mengakui keberadaan suatu masyarakat hukum adat. Negaralah yang menentukan
penilaian apakah masyarakat hukum adat itu masih hidup dan serasi dengan
perkembangan masyarakat dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan
Indonesia. Ke-empat, konstitusi negara memerintahkan kepada
penyelengara negara baik DPR dan
maupun pemerintah, untuk mengatur
masalah pengakuan negara ini dalam
undang-undang. Dengan perkataan lain harus di bentuk undang-undang yang
mengatur tentang bentuk pengakuan
terhadap eksistensi masyarakat hukum adat. Kelima pengakuan terhadap eksistensi
masyarakat hukum adat diletakan dalam pengaturan tentang pemerintahanan daerah.
Dalam konteks yang demikian, jelas menunjukan bahwa kemungkinan untuk
berlakuknya hukum adat sebagai bagian
dalam tata hukum nasional berhubungan erat dengan penyelenggaraan pemerintahan
daerah atau dalam kebijakan desentralisasi.
Semangat
pengakuan terhadap hukum adat yang tersirat dalam Pasal 18 B UUDNRI dan menjadi
dasar dari pembentukan atau pengakuan
peradilan adat di Provinsi Papua yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001, tersebut di atas, justruk tidak terdapat dalam baik dalam UU No. 32 tahun 2004,tentang Pemerintahan Daerah, maupun
dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Dalam konteks kebijakan desentralisasi, pola
pembagian urusan sebagaiman diatur dalam UU No. 32 tahun 2004, salah satu
urusan yang tidak diserahkan adalah urusan di bidang yustisi atau peradilan, atau dengan perkataan
lain urusan justisi masih menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam
penjelasan umum angka 4, UU No. 32 tahun 2004, di jelaskan bahwa urusan yang
tidak diserahkan itu berhubungan dengan terjaminnya kelangsungan hidup bangsa
dan negara.
Salah satu yang dianggap
yang berhubungan dengan kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam bidang
yustisi. Dalam bidang yustisi misalnya
mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga
pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan
grasi, amnesti, abolisi.
Memasukan bidang yustisi sebagai bidang
yang berhubungan dengan kelangsungan hidup bangsa dan negara, masih perlu
diperdebatkan, karena beberapa item kebijakan seperti mendirikan lembaga
peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, belum
terlihat nilai strategisnya yang
berkorelasi dengan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Justru kempat elemen urusan yustisi tersebut yang
dikelola oleh pemerintah pusat membawa mala petaka dalam penegakan hukum
seperti yang terjadi sekarang ini.
Tidak terakomodasinya pengakuan
eksitensi sistem peradilan adat dalam kebijakan desentralisasi dalam konteks UU No. 32 tahun 2004, dan PP
No. 38 tahun 2007, sungguh sangat mengherankan.
Mengingat kebijakan desentralisasi
dalam konteks UU No 32 tahun 2004, dan PP No 38 tahun 2007, merupakan
induk atau payung dalam kebijakan desentralisasi dan lahir pasca amandemen
UUD’45. Seharusnya pengaturan kebijakan desentralisasi mengacu pada
Pasal 18 B UUDNRI”45 yang memberikan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat.
Selain UU No. 32 tahun 2004, dan PP No. 38 tahun 2007,
undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman yakni Undang
–Undang nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman juga tidak mengakomodasi adanya peradilan adat dan
bahkan tidak menyebut keberadaan peradilan adat di Provinsi Papua. Undang
–Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jelas menunjukan
bahwa semua peradilan adalah peradilan
negara, hal tercermin dalam pada Pasal 2
yang dengan tegas menyatakan :
Pasal 2
(1) Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG
MAHA ESA".
(2) Peradilan
negara menerapkan dan menegakkan hukum
dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
(3) Semua
peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah
peradilan negara yang diatur dengan
undang-undang.
(4) Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
Perubahan yang cukup besar
terhadap eksitensi peradilan adat justru terdapat dalam kebijakan desentralisi,
khususnya dalam pembentukan daerah otonomi khusus Papua yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Pasal 50, UU. No 21 Tahun 2001 lengkapnya
sebagai berikut :
Pasal 50
(1) Kekuasaan
kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan
oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Di
samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya
peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Pasal 51
(1) Peradilan
adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan
masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan
memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(2) Pengadilan
adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(3) Pengadilan
adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat
dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(4) Dalam
hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas
putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada
pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk
memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan.
(5) Pengadilan
adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana
penjara atau kurungan.
(6) Putusan
pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan
pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan
akhir dan berkekuatan hukum tetap.
(7) Untuk
membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana
yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua
Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan
Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(8) Dalam
hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan
pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan
Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi
bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang
bersangkutan.
Uraian tersebut
di atas jelas menunjukan bahwa terdapat
ketidak selarasan antara perundangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah,
maupun perundang-undangan di bidang kehakiman dengan jiwa Pasal 18 B UUDNRI.
Selaian itu, uraian tersebut di atas juga menunjukan bahwa peradilan adat yang di jalankan oleh
fungsionaris adat Dayak tidak mempunyai dasar legitimasi dari hukum negara.
5.2.Harmonisasi Melalui
Jalur Pembentukan Hukum
Harmonisasi melalui jalur pembentukan hukum
adalah sutau kebijakan untuk mengakui hukum adat dengan jalan mengaturnya dalam
suatu peraturan daerah yang bersifat deklartif dan kompilasi. Deklaratif
dimaksudkan bahwa peraturan daerah itu menyatakan pengakuannya terhadap hukum
adat dan mengatur hukum adat tersebut dalam bentuk kompilasi. Peraturan daerah
yang bersifat kompilasi inilah yang akan dipergunakan sebagai norma dalam
proses peradilan yang berkaitan dengan penggunaan norma hukum adat dalam
menyelesaikan kasus sengketa.
Pilihan pengaturan di lakukan dengan
peraturan daerah didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama,
persoalan yang muncul akibat terjadinya perjumpaan hukum negara dengan hukum
adat pada area sosial yang sama tidak dialami oleh seluruh daerah, kondisi
ini lebih pada issu hukum lokal. Oleh
karena itu mengharapkan kebijakan pemerintah
secara nasional atau pada tataran general
policy level untuk dalam mengatasinya tentu sesuatu sangat mustahil dapat
di lakukan. Selain itu terbatasnya akses
masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Kedua,
tata hukum nasional sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004, Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan memberikan ruang muatan materi pada peraturan daerah untuk
mengatur kekhasan daerah selain kewenangan yang telah diberikan kepada daerah,
maupun atas delegasi dari perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Ketiga, walaupun
diatur dalam peraturan daerah, pemerintah pusat masih memilik kewenangan untuk
mengontrolnya, melalui mekanisme pengawasan persetujuan pemberlakuan peraturan
daerah oleh pemerintah.
Dalam peroses pembentukan peraturan
daerah ini proses harmonisasi hukum adat dengan hukum negara dilakukan baik
harmonisasi asas, norma, maupun tujuan hukum. Norma-norma dan aturan-aturan
hukum adat akan mengalam proses pengayaan, baik dalam bentuk penyusunan
konstruksi aturan hukum yang jelas dan
didasarkan pada norma hukum adat , pengayaan dalam azas –azas hukum atau
azas-azas perundangan maupun mengalami
penyesuai dengan aturan hukum negara yang lebih tinggi.
Pengayaan terhadap aturan hukum adat
hukum adat tersebut harus selaras dengan nilai-nilai dari sila-sila dalam
Pancasila sebagai cita hukum dalam tata hukum nasional. Selain itu, seperti dinyatakan IGN. Sugangga, asas-asas
Hukum Adat yang dipakai sebagai landasan
pembinaan Hukum Nasional haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
: (a) Hukum Adat tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan Nasional dan
Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa; (b) Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan Negara
Indonesia yang berfalsafah Pancasila; (c) Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan Peraturan-Peraturan Tertulis (Undang-Undang); (d) Hukum Adat yang bersih dari sifat-sifat
feodalisme, kapitalisme serta
pengisapan manusia atas manusia; (e) Hukum Adat yang tidak bertentangan
dengan Unsur-unsur Agama.[23]
Dalam konteks ke-universalan hukum, maka hukum adat harus sejalan dengan
prinsip hukum alam sebagai mana di kutip oleh Suteki[24]
sebagai berikut: honeste vivere,alterum
non leadere, sum cuique tribuer
Dalam konteks
tersebut hukum adat akan mengalami
metamorfosis dari hukum kebiasaan menjadi hukum resmi yang diakui negara. Dalam
proses ini hukum adat mengalami tranformasi cita hukum yang terbentuk dari kosmologi terhadap alam,
tertib sosial yang ideal yang dicitakan dan keadilan jubata, kearah cita hukum
nasional .
Ragaan.19
Metamorfosis Hukum Adat Menjadi Hukum Negara
Dalam proses pembentukan
peraturan daerah yang berisi kompilasi hukum adat, hukum adat harus selaras dan
seiring dengan hukum negara, tertuma berkaitan degan perundangan di bidang
pemerintahan desa, sumber daya agraria dan di bidang peradilan.
Atas dasar
tersebut, dalam peraturan daerah yang bersifat deklatif tentang pengakuan hukum
adat dan berisi kompilasi hukum adat. Ada beberapa hal yang pokok yang perlu dilakukan
haromonisasi antara hukum adat dengan hukum negara,agar hukum adat Dalam memberikan pengakuan terhadap kelembagaan
adat yang menjalankan peradilan adat perlu diatur hal-hal sebagai berikut :
1. Ruang lingkup peradilan
adat, menyakut yurisdiksi peradilan baik menyangkut wilayah, maupun subyek yang
termasuk dalam yurisdiksi peradilan adat. Atas dasar ini peradilan adat hanya
berlaku dalam lingkungan masyarakat kesukuan dan kepada anggota masyarakat kesukuaan.
2. Putusan peradilaan adat,
sebagai hukum tambahan dari putusan pengadilaan negara, atau putusan peradilan
adat disampaikan kepada peradilaan
negara. Hakim peradilan negara lah yang memasukan putusan peradilanan adat
kedalam amar putusannya, baik berupa pembayaran denda adat atau menjadikan
putusan peradilan adat yang telah dilaksanakan sebagai hal-hal yang
meringankan hukuman terdakwa. Dengan demikian perkara yang sudah diputuskan
oleh peradilaan adat tidak lagi diadili dalam peradilaan negara.
3. anggota kesukuan atau orang
luar kesukuan jika melanggar hukum adat dalam wilayah masyarakat kesukuan,
dapat memilih apakah akan diadili dengan hukum negara atau dengan hukum adat
setempat.
4. Dalam putusan peradilan adat
yang menjatuhkan denda adat pati nyawa dalam kecelakaan lalu lintas, besarannya
disesuaikan dengan asuransi jasa raharja atau pembayaran ansuransi jasa raharja
harus dimasukan sebagai bagian dalam pembayaran denda adat.
5. Memperkuat kedudukan
fungsionaris adat yang dikenal dalam hukum adat, sehingga memberikan legitimasi
yuridis bagi fungsionaris adat dalam mengdili sengketa dengan menggunkan hukum
adat.
Adapun
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melakukan harmonisasi adalah sebagai
berikut:
1.
Pemerintah harus
bekerjasama dengan dewan adat dan fungsionaris adat dari setiap suku untuk
melakukan inventarisasi hukum ada mereka melalui masyawarah adat internal.
2.
Hasil inventarisasi
norma-norma hukum adat kemudian dibawa dalam masyawarat adat dan
pemerintah, yang melibatkan, kalangang
akademisi, para birokrasi pemerintah dan pejabat kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan, tokoh agama dan pemuka-pemuka adat suku lainnya terutama suku
Melayu yang merupakan suadara historis mereka untuk menelaah norma-norma hukum
adat baik yang bersifat kelembagaan hukum adat maupun substansi norma hukum
adatnya, termasuk denda adat.
3.
Setelah dicapai
kesepakatan, maka pemerintah daerah dan Dewan perwakilan daerah, menyusun
peraturan daerah yang muatannya
kompilasi hukum adat setiap sub – suku. Menyusun perda
kompilasi hukum adat sangat dimungkinkan baik dalam kerangka UU No.32 tahun
2004 tentang pemerintah daerah maupun dalam kerangka UU. No 11 tahun 2012
tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan. Dalam UU No. 10 tahun 2004,
materi muatan
peraturan daerah adalah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
4.
Dalam menyusun
peraturan daerah yang materi muatannya berupa kompilasi hukum adat setiap sub – suku Dayak perlu
diharmonisasikan dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP
No. 72 tahun 2005 tentang Desa. Kedua perundang-undangan ini mengatur
kewenangan kepala desa untuk mendamaikan perselisihan masyarakat di desa dengan
di bantu oleh lembaga adat desa. UU No.48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman , UU/8/2004 tentang Peradilan Umum maupun dalam UU No.3.
tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009,
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kempat faktor pendukung tersebut di atas
memungkinkan untuk dilakukannya harmonisai hukum adat Dayak dengan hukum negara
dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Adanya kesadaran dan
kertebukaan dari para elit masyarakat dan fungsionaris adat untuk memelihara
hukum adat meraka agar tidak bertentangan dengan hukum negara dan adanya
kesediaan untuk melakukan konstruksi ulang norma hukum adat mereka. Selain itu perlu kesadaran bahwa hukum adat Dayak berada
dalam ruang hukum nasional negara yang berdaulat.
2.
Adanya kesadaran dari
pemerintah daerah akan pentingnya hukum
adat Dayak di harmonisasikan dengan
hukum negara.
5.3.Harmonisasi
Melalui Jalur Penegakan Hukum
Dalam konteks sistem peradilan nasional, peradilan Adat Dayak tidak mempunyai hubungan
formal atau tidak tersambung dengan sistem peradilan negara. Sehingga
putusan-putusan fungsionaris adat secara yuridis tidak dapat diajadikan dasar
yang mengikat bagi hakim dalam memutusakan perkara yang sama ketika perkara
tersebut masuk dalam ranah hukum publik atau hukum negara. Oleh karena perlu mengharmonisasikan fungsi
peradilan dalam hukum adat Dayak dengan penegak hukum negara, terutama dalam
proses peradilan. Ada dua langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan
harmonisasi kedua entitas hukum dalam proses penegakan hukum. Ada pun langkah
tersebut adalah sebagai berikut:
4.Langkah Kebijakan Penegakan Hukum Dalam
Proses Peradilan.
Harmonisasi
dalam proses penegakan hukum dapat dilakukan melalui cara dalam putusan
peradilan adat yang menjatuhkan denda adat pati nyawa dalam kecelakaan lalu
lintas, besarannya disesuaikan dengan asuransi jasa raharja atau pembayaran
ansuransi jasa raharja harus dimasukan sebagai bagian dalam pembayaran denda
adat.
sesuai UU No. 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Dalam
konteks ini putusan peradilaan adat, yang dilakukan oleh fungsionaris adat, berupa
sanksi adat disampaikan kepada majelis hakim yang memeriksa kasus tersebut
dalam peradilan negara. Dalam konteks tindak pidana, sanksi adat yang telah
diputuskan oleh fungsionaris adat berupa denda adat, dapat dijadikan
pertimbangan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman. Hakim peradilan negara lah
yang memasukan putusan peradilanan adat kedalam amar putusannya, baik berupa
pembayaran denda adat atau menjadikan putusan peradilan adat yang telah dilaksanakan
sebagai hal-hal yang meringankan hukuman terdakwa.
Pada sisi hukum, konstruksi ini dapat dilakukan
dengan memberikan penafsiran yang luas terhadap Pasal 5 dan Pasal 50 Undang
–Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1)
menyatakan Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 50 ayat (1)
mennyatakan Putusan pengadilan selain
harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili. Berdasarkan Pasal 50, hakim dapat
memasukan putusan fungsionaris adat dalam menjatuhkan hukuman dalam kasus yang
di periksanya. Dalam konteks masyarakat Dayak, hukum adat adalah hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Dalam hal penjatuhan sanksi denda adat, majelis hakim dapat
mempertimbangkan besaran denda yang diajukan oleh fungsionaris adat dengan
kemampuan riel terdakwa,atau menyesuaikan dengan perundangan yang berlaku.
Dalam kasus-kasus kecelakaan lalu lintas misalnya, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 235 dengan
jelas menyatakan bahwa kecelakaan lalu yang mengakibatkan korban luka atau
korban meninggal dunia,
pengemudi, pemilik, dan/ atau perusahaan Angkutan
Umum wajib memberikan biaya pengobatan atau biaya lainnya tidak menggugurkan
tuntutan perkara pidana. Lengkapan sebagai berikut :
Pasal 235
ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 yang menentukan :
“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu
Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik,
dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum wajib “memberikan
bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan
dan/atau biaya pemakaman dengan
tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”;
Pasal 235 ayat (2) :
“Jika terjadi cedera terhadap badan
atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1)
huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan
Umum wajib memberikan
bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana”.
Dalam konteks kasus –kasus kecelakan lalu lintas
tersebut baik fungsionaris adat maupun hakim dalam memutuskan besaran
disesuikan dengan perundang-undangan dibidang
sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan. Dana wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan
harus dimasukan sebagai bagian pembayaran sanksi adat.
Harmonisasi ini dilakukan dengan
cara penegakan hukum negara khususnya
penyidik kepolisian memberikan kesempatan kepada pihak pelaku maupun korban
menempuh penyelesaian secara hukum adat. Polisi menempatkan dirinya untuk
mengawasi penyelesaian kasus sengketa tersebut jangan sampai terjadi
pelanggaran hukum lainnya, seperti pengancaman, pemerasan dan teror. Kesepakatan kedua pihak dan putusan
fungsionaris adat disampaikan kepada pihak kepolisian sebagai institusi penegak
hukum dalam proses penyidikan.
Kepolisian negara tidak
melakukan penegakan hukum negara karena kasus nya telah di selesaikan oleh
dengan menggunakan mekanisme peradilan adat. Langkah kebijakan ini secara tidak
langsung negara mengakui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan
makenisme yang dikenal dalam hukum adat.
Harmonisasi dalam pengakan hukum ini dengan mengambil kebijakan untuk tidak
menegakan hukum dalam proses peradilan
yang di kemukan di atas dapat diterapkan dalam kasus-kasus kecelakan
lalulintas.
Memang diakui
bahwa kebijakan untuk tidak menegakan hukum dalam tindak pidana akan
bertentangan dengan aturan hukum positif. Ini berarti ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana baik
pidan matril seperti yang diatur dalam KUHP maupun hukum pidana formil seperti
yang tercantum dalam KUHAP, berlaku pula dalam penyelesaian tindak pidana
lalu-lintas. Konsekwensi yang timbul
adalah bahwa putusan peradilan adat yang diputus oleh fungsionaris adat Dayak dengan sendirinya
tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menghilangkan tuntut pidana yang dilakukan
negara. Ini setidak-tidaknya disebabkan dua hal
sebabgai berikut:
·
peradilan
adat Dayak tidak dikenal dalam sistim peradilan
Nasional yang diatur dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman , UU No 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum maupun
dalam UU No 3 tahun 2009
Mahkamah Agung. Dalam UU Pasal 235 ayat (1)
UU No. 22 Tahun 2009 yang menentukan memberikan
bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan menggugurkan tuntutan
perkara pidana”.
·
Dalam sistem
peradilan pidana, kondisi-kondisi apa saja yang menyebakan atau dapat
menyebabkan hampusnya tindak pidana dan hapusnya menjalankan pidana, seperti
yang tercantum dalam Pasal 76 sampai Pasal 85 KUHP , karena alasan sebagai
berikut :
1)
Nebis In Idem ; (Pasal 76 ):
2)
Tertuduh Meninggal Dunia (Pasal 77);
3)
Daluarsa
(Pasal 78
s.d. Pasal 80);
4)
Penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya
perselisihan pra-yudisial, menunda daluwarsa”( Pasal 81);
5)
pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja dan
dengan suka rela telah dibayar maksimum termasuk biaya-biaya yang telah
dikeluarkan, dan/atau telah menyerahkan barang perampasan/membayar harganya(Pasal 82 ):
6)
Terpidana Meninggal Dunia (Pasal 83)
7)
Karena Daluarsa (Pasal 84)
Kalau didasarkan
pada perundang-undangan tersebut di atas maka kebijakan untuk tidak lagi
menegakan hukum negara terhadap kasus yang telah diselesaikan dalam maknisme
hukum adat akan sulit dilakukan. Namun demikian jikalau menggunakan ketentuan
yang sirat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pada Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) peluang untuk tidak
menegakan hukum pidana terhadap kasus yang telah di selesaikan dalam mekanisme
hukum adat dapat dilakukan. Dengan memberikan penafsiran yang luas terhadap
Pasal ayat (1) dan ayat (2) menyatakan untuk kepentingan umum pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri. Tindakan tersebut hanya dapat dilakukan
dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam
menjalankan kebijakan ini kepolisian negara sebagai institusi penegakan hukum
dalam proses penyidikan harus
berhati-hati dalam mengambil kebijakan.
Dalam pandangan Suteki ada beberapa alasan yang dapat dilakukan untuk
mengambil kebijakan tidak menegakan hukum (non enforcement of law) sebagai
berikut[26]:
1.
Kalau hukum tidak
akrab dengan realitas sosial, tidak dekat dengan rasa keadilan rakyat, tidak
dimengerti karena bahasa hukum yang sulit dimengerti. Bahasa hukum terbatas
jumlahnya dan rata-rata berasal dari golongan penguasa dan orang-orang yang
sulit dimengerti oleh rakyat ini kerap kali dianggap merupakan suatu
kesombongan kekuasaan (the arrogance of
power)
2.
Bilamana peraturan
pelaksanaan merupakan sesuatu yang mutlak harus ada pada suatu produk hukum
tertentu. Dalam keadaan demikian ini, tanpa peraturan pelaksanaan, maka produk
hukum secara operasional akan berhenti fungsinya dan halnya dapat menjadi bahan
diskusi
3.
Bila peraturan
perundang-undangan bertentangan dengan pancasila sebagai kaidah penuntun.
[1]Filsafat politikThomas Hobbes, John Locke, Roussea, Hegel berkaitan dengan otoritas dalam suatu negara.Hobbes
membangun teori perjanjian masyarakat atau kontrak sosial untuk memberikan
dasar justifikasi atas kekuasaan seorang penguasa atas rakyatnya. Lihat JD.Mabbott” The State and The Citizen” London: Hutchinson U niversity Library, 1970.halaman. 11-33. Lihat juga Rowe & Schofield “Sejarah Pemikiran Politik Yunani &
Romawi”
Edisi
Indonesia,
pen. Raja Grafindo Persada,Jakarta edisi 1, 2001.hlm. 34.
[4] Mungkin akan terjadi
perbedaan persepsi, dalam menilai
pemikiran-pemikiran Thomas Hobbes, Jhon Austin,H.L.A
Hart, Kalsen sebagai basis teori untuk melihat adanya otoritas negara dalam pembentuk hukum
dengan pandangan yang menggunakan
pemikiran tersebut untuk menilai karakter produk hukum yang di hasilkan negara. Nonet & Selznick, mengangap
pemikiran-pemikiran tersebut melahirkan produk hukum yang berkarakter refresif
maupun yang otonom.Ia membedakan tiga hukum
dalam tiga klasifikasi dasar, yaitu ; hukum sebagi pelayan kekuasaan
yang reprasif; hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represi dan mampu melindungi
integritas dirinya; hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon kebutuhan dan asfirasi sosial. Dari ketiga klasifikasi tersebut ia membagi
hukum dalam tiga tipe yakni hukum
represif, hukum otonom, dan hukum yang responsif. Tiap-tiap tipe hukum
ini, mempunya karekter tersendiri.Ketiga tipe hukum tersebut dipahami sebagai
tiga respon terhadap dilema yang ada antara integritas dan keterbukaan hukum.
Seperti di ukuinya bahwa pembagian tipe dasar hukum sangat abstrak tidak lah
dapat ditemui pada tataran empiris. Lihat Filippe Nonet &
Philip Selznick ” Law & Scietty in
Transition: Towward Responsive Law” telah dialih bahasakan oleh Rafael Edy
Bosco dengan judul ” Hukum Responsif,
Pilihan di masa Transisi” Jakarta: Huma, 2003, halaman. 14.
[5]. Krisis financial
yang melanda perekonomian Amerika Serikat dan negar Eropa lainnya, yang
disebabkanoleh prilaku para manger finasial mendorong terjadinya
perubahan paradigma dalam rezim leberilasi, di mana negara mulai menyadari
untuk mengatur prilaku para manger
keuangan , dengan membatasi besar penghasilan yang mereka terima. Kebijakan
tersebut di pelopori oleh AS dan kemudian di ikuti oleh sekutu Eropanya.
Fenomena ini menunjukan bagai mana campur tangan negara dalam mengatur kehidupan warga negara.
[6] Brademier dalam Adam Podgorecki & Christoper Welan ”
Pendekataan Sosiologi Terhadap Hukum.” Jakarta : Bina Aksara, 1987 halaman 65.
[7] Lihat Ritzer dan Goodman dalam ‘Teori Sosial Modern ‘ Jakarta : Prenada Media Cet iii, 2005, halaman 631.
[8]
Jaka Soehendra dalam “Realitas
Kemajemukan Hukum Dalam Masyarakat” Jentera,
edisi November 2004, halaman. 3.
[9]Istilah
pluralime hukum atau legal pluralisme dilebih dikenal dalam study Antropologi
hukum. Dialog mendalam tentang legal pluralism dapat dilihat dalam Brian
Z.Tamanaha , “An Non Essensialist Version of Legal
Pluralism” Journal of Law and Society, Vol 27 Nomor 2 June 2000 .
[10] Masaji Chiba,ed, “Asian
Indgennous Law in Intraction With Received Law”London & New York: Kegan Paul
International, 1986
[13] Masaji Chiba,ed, “Asian
Indgennous Law in Intraction With Received Law”London & Newyok; Kegan
Paul International, 1986 , halaman. 4.
[15] Dalam hukum adat
Dayak, orang yang menyebabkan orang mengeluarkan darah, atau meninggal akan
dikenakan adat pemapol darah dan adat patinyawa.
[16] Eugene Ehrlich” Fundamental Principle of The Sociology of
Law” New Yoek,1936 hlm. 21.
[17] Lawrece M. Friedman”The Legal System ; A Social Science Perspective” Alih
bahasa oleh M Khozim dengan judul Sistem
Hukum; Persepektif Ilmu Sosial” Bandung, Nusa Media,2009, hlm. 1-23.
[18] Soerjono Soekanto” Kedudukan Kepala Desa Sebagai Hakim
Perdamaian Desa” Jakarta, Rajawali.1986.hlm.44.
[21] Garis-garis Besar Haluan negara tahun 1999-2004, bidang pembangunan
hukum angka 2 menyatakan : Menata
sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati
hukum agama dan hukum adat serta memperbarui perundang-undangan warisan
kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender
dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
[22] Sebutan UUD’1945 atau UUD’45 adalah sebutan sebelum dilakukan
amandemen. Setelah amandemen ke empat
tahun 2004 MPRRI, menentapkan hasil amandmen UUD1945 sebagai Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 atau disingkat UUDNRI. Dalam tulisan
ini dipakai sebutan UUD’45 untuk menunjukan naska original sebelum di
amandemen.
[24] Suteki “Kebijakan Tidak Menegakan Hukum Demi
Pemuliaan Keadilan Substantif” Pidato Pengkuhan Guru Besar pada Fakultas
Hukum Universitas Diponogoro Semarang Agustus 2010.
[25] Langkah untuk tidak menegakan hukum ini, penulis ambil dari wacana atau
gagasan dari Suteki . Dalam mengemukan gagasanya tersebut ia mendasar berbagai
teori. Lengkapnya lihat Suteki” Kebijakan
Untuk Tidak menegakan Hukum (Non Enforcement Of Law) Demi Pemulian Keadilan
Sunstantif” Pidato Pengukuhan Guru besar Ilmu Hukum pada Universitas
Diponegoro Semarang 4 Agustus 2010.
3 komentar:
Nama : Rudiansyah
Nim : A1O11131O26 ( Reg.A)
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Topik Pembahasan : PERJUMPAAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM NEGARA,SERTA PROBLEMA YANGTIMBUL DALAM PENEGAKAN HUKUM
Pendapat Pribadi : Keberadaan masyarakat adat adalah fakta sosial sejak lama di tanah yang sekarang kita kenal dengan Indonesia. Bahkan jauh sebelum bentuk Republik diproklamasikan tahun 1945.
Dalam masa pergolakan menuju republik, kelompok-kelompok intelektual mengagregasi kepentingan-kepentingan masyarakat adat untuk menjadi salah satu argumentasi menuntut kemerdekaan, di samping hal-hal penting lainnya. Namun, dalam semangat nasionalitas yang meninggi, lokalitas adat tidak dimasukkan sebagai penyangga hukum (hak) dasar yang disusun oleh para founding father. Pembicaraan mengenai masyarakat adat dalam penyusunan UUD 1945 hanya dibicarakan oleh M. Yamin dan Soepomo. Para tokoh lain yang berasal dari daerah tidak meresponsnya dengan serius.
1. Korban Pembangunan
Perundang-undangan dan kebijakan pemerintah republik terutama UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) meletakkan masyarakat adat dengan hak ulayatnya dalam rumusan aturan yang ambigu. Antara mengakui dan mencurigai. Kemudian dalam era Pembangunanisme Orde Baru, disamping ambiguitas yang dipertahankan, masyarakat adat dideskreditkan dengan sebutan sebagai masyarakat terasing, masyarakat primitif, atau masyarakat terbelakang. Akhirnya lewat UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, masyarakat adat yang memiliki pola pemerintahan khas diseragamkan menjadi desa. Inilah pukulan telak terhadap keberadaan masyarakat adat.
Motif perundang-undangan pada masa itu adalah merubah tatanan masyarakat adat yang tradisional menjadi masyarakat berbudaya modern.\
2. Amandemen bersyarat
Pengaturan masyarakat adat di dalam hukum negara mulai dari level UUD sampai peraturan di bawahnya masih bersifat ambigu karena tidak jelas dan tidak tegas. Dikatakan tidak jelas karena tidak terinci bagaimana hak dan posisi masyarakat adat dalam kerangka kebijakan negara secara lebih luas dalam ikhtiar kesejahteraan sosial secara bersama. Dikatakan tidak tegas karena belum ada pengaturan yang dapat ditegakkan untuk mengatasi persoalan-persoalan lapangan yang selama ini dialami masyarakat adat seperti “perampasan” ulayat dan ancaman kriminalisasi dari hukum negara, terutama perundang-undangan yang berkaitan dengan sumberdaya alam.
3. Kebingunan Pemerintanh
4. Ada dua kemungkinan mengapa pengaturan masyarakat adat dalam hukum negara dari dahulu sampai hari ini masih kabur. Pertama: Pemerintah dalam kapasitas sebagai regulator tidak mampu mengkonstruksi keragaman masyarakat adat dengan totalitas sosialnya ke dalam suatu perundang-undangan yang bersifat tertulis, publik dan general secara akomodatif. Hal ini dikarenakan kemajemukan masyarakat Indonesia yang terkategorisasi dalam berbagai pengelompokan secara horizontal berdasarkan suku, agama, ras, bahasa dan lainnya yang tersebar pada berbagai pulau.
5. Kemungkinan kedua, Pemerintah enggan atau tidak mau membuat aturan yang menguatkan keberadaan masyarakat adat. Hal ini merupakan warisan dari “pembangunanisme” Orde Baru yang meletakkan masyarakat adat sebagai faktor yang dapat menghambat investasi. Kekaburan pengaturan masyarakat adat pada kenyataannya menguntungkan penguasa politik dan pengusaha swasta besar karena dapat memanipulasi hukum yang terlanjur melemahkan masyarakat adat
NAMA: APRIANUS
NIM :A01111040 ( REG.A )
ANGKATAN: 2011
MATA KULIAH: PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Menurut Soepomo, Hukum Adat itu dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara (parlemen, dewan provinsi, dll), hukum yang timbul karena putusan- putusan hakim hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di desa semua istilah "adat" atau hukum yang tidak tertulis yang disebut oleh pasal 3 ayat 2 UUD Sementara. Syarat kebiasaan untuk menjadi hukum kebiasaan atau, Hukum Adat ada dua, yaitu:
1. Kebiasaan tersebut mesti dilaksanakan terus menerus oleh masyarakat tersebut (syarat materiil).
2. Apa yang dilaksanakan terus menerus itu dengan kesadaran bahwa itu dirasakan sebagai kewajiban (tuntutan/hukum atau dengan kata lain: de opium uris necessifat), yang berlangsung terus menerus itu dirasakan sebagai kewajiban hukum (syarat psikologis). Menurut Prof. Dr. R. Soepomo, S.H dalam bukunya Bab-bab Tentang Hukum Adat dituliskan sistem hukum adat antara lain Bahasa hukum, Pepatah adat, dan Penyelidikan Hukum Adat. Berikut akan dijelaskan mengenai hal tersebut.
Bahasa hukum
Merupakan kata-kata yang dipakai terus-menerus untuk menyebut dengan konsekuen suatu perbuatan atau keadaan, lambat laun menjadi istilah yang mempunyai isi yang tertentu. Pembinaan bahasa hukum di Indonesia memerlukan perhatian lebih, khususnya bagi hukum adat. Istilah hukum adat yang digunakan di Indonesia sangatlah berbeda dengan istilah hukum barat, meskipun Belanda telah lama menjajah Negara Indonesia.
penyelidikan hukum adat
di daerah, supaya diperhatikan mengenai cara atau metodenya. Adapun cara atau metode penyelidikan tersebut adalah mendekati para pejabat desa, orang-orang tua, para cerdik pandai, orang-orang terkemuka di daerah yang bersangkutan, dan sebagainya.
Problematika Penegakan Hukum di Indonesia
Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas.
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas.
Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sudah terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya.
NAMA : BUMI AYU.
NIM : A1011131032 (REGULER A).
MATAKULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN.
TOPIK : PERJUMPAAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM NEGARA, SERTA PROBLEMA YANG TIMBUL DALAM PENEGAKAN HUKUM.
Menurut Saya, berdasarkan pembahasan bahwa Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Namun, bentuk Hukum Adat sebagian besar adalah tidak tertulis. Padahal, dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas. Asas legalitas menyatakan bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di dalam hukum. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Namun di suatu sisi bila hakim tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Diakui atau tidak, namun Hukum Adat juga mempunyai peran dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia.
Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat. Ada sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum adat. Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga ha rus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdata-nya masyarakat Indonesia.
Keberadaan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia akan tetap eksis. Dalam hal ini Prof. Soepomo memberikan pandangannya sebagai berikut:
a. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai masyarakat Indonesia.
b. Bahwa hukum pidana dari suatu negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat bangsanya atau masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, maka hukum adat pidana akan member bahan-bahan yang sangat berharga dalam pembentukan KUHPidana baru untuk negara kita.
c. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum / tidak ditetapkan oleh undang-undang.
Hukum adat merupakan hukum kepribadian Indonesia karena hukum adat sangat mencerminkan ciri-ciri, watak, sikap hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka sangat tepat adanya Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 Lampiran A Paragraf 402 dengan menetapkan hukum adat sebagai azas-azas pembinaan hukum nasional.
Kesimpulannya peranan hukum adat dalam pembangunan hukum nasional Indonesia cukup besar. Hal ini dikarenakan hukum adat merupakan kebudayaan nasional Indonesia yang mencerminkan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Pancasila yang digali dari hukum adat kemudian menjadi Dasar Negara, falsafah bangsa serta norma dasar. Hukum adat menjadi dasar-dasar elemen, unsur-unsur, hukum yang kita masukkan dalam hukum nasional yang dibentuk.
Posting Komentar