KERANGKA KONSEP
PENGUATAN DPD RI PASCA PUTUSAN MK
BERDASARKAN ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM TATA NEGARA
Oleh Turiman Fachturahman Nur
(Expert Hukum Tata Negara UNTAN)
Email: qitriaincenter@yahoo.co.id
Blok di Google Rajawali Garuda Pancasila
HP 08125695414
Prolog
ü Menjelang satu dasar warsa
perubaan UUD, DPD RI berpendapat, bahwa perlu adanya penataan kembali sistem
ketatanegaraan meliputi semua cabang kekuasaan secara komprehensif dan tidak
parsial dan ada 10 isu strategis yang tersisa pasca empat tahap perubahan UUD.
Sepuluh isu strategis itu adalah memperkuat sistem presidensiil, memperkuat lembaga perwakilan, dibuka
ruang bagi calon presiden perorangan, pemilahan pemilu nasional dan lokal,
forum previllegeatum, optimalisasi peran Makamah Konstitusi, penambahan padsal
HAM, penambahan bab komisi negara, penajaman bab tentang pendidikan dan
perekonomian.
ü Terhadap 10 isu strategis tersebut,
yang terpenting dalam konstruksi hukum tata negara adalah Memperkuat Lembaga Perwakilan, karena esensi terpenting dari
perubahan secara Sistem Ketatanegaraan Indonesia pada formatnya seharusnya
harus mampu menjabarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika dalam negara persatuan
Indonesia.Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah Negara Indonesia
berkehendak menganut dua kamar dalam lembaga perwakilan, jika jawaban ia, maka
pertanyaan hukum tata negara selanjutnya adalah sistem bikameral yang bagaimanakah
yang dianut dalam perubahan UUD 1945 ? Jika sudah sepaham permasalahan ini,
maka perubahan kelima UUD Negara 1945 menjadi sesuatu yang urgen.
ü Untuk membedah ini, maka perlu
diajukan apa sebenarnya hakekat perwakilan yang ingin dianut dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia kedepan dalam konteks ketatanegaraan yang khas
Indonesia?
ü Fakta sejarah telah memaparkan
kepada publik, bahwa perubahan ketiga UUD 1945 ternyata gagasan pembentukan DPD
RI dalam rangka restrukturasi parlemen Indonesia menjadi dua kamar telah
diadopsi. Fakta yuridis konstitusional dapat dilacak secara implisit namun
tidak tegas pada BAB II dengan judul BAB
Majelis Permusyawaratan Rakyat, pada Pasal 2 ayat (1) Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwkilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
ü Jika Urgensi Perubahan UUD Neg
1945 kelima bertujuan untuk memperkuat lembaga perwakilan, yaitu ditujukan
untuk meningkatkan kualitas kebijakan dari segi derajat keterwakilan dalam
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, maka diperlukan mekanisme check and balance antar kamar dalam
fungsi lembaga perwakilan. Menurut penulis Pasal 2 ayat (1) harus direkonstruksi lebih dahulu.
ü Rekonstruksi yang dimaksudkan
adalah kita harus sepakat secara hukum tata negara apakah MPR sebagaimana konstruksi hukum pasal 2 ayat (1)
saat ini disepakati semata-mata sebagai forum belaka, sebagaimana subtansi pada
pasal-pasal usulan perubahan kelima UUD 1945 yang diusulkan oleh DPD RI, karena
menurut penulis belum ada rumusan teks hukum yang diusulkan oleh DPD RI
terhadap rumusan pasal 2 ayat (1) UUD 1945, maka menurut penulis Pasal 2 ayat 1
UUD 1945 harus ditegaskan lebih dahulu dengan rumusan :” Pasal 2 ayat (1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Forum
bersama yang terdiri Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah “.
ü Konstruksi hukum terhadap rumusan
ini dimaksudkan kita ingin menegaskan, bahwa parlemen Indonesia menjadi dua
Kamar dan secara eksplisit saat ini dapat terlacak dari teks hukum negara Pasal
20 UUD 1945 mengatur DPR dan Pasal 22 C dan Pasal 22D mengatur DPD. Perbedaan
keduanya terletak pada hakekat kepentingan yang diwakili masing-masing. Dewan
Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk mewakili rakyat, siapa yang dimaksudkan
rakyat disini adalah Rakyat Indonesia oleh karena itu yang diwakili rakyat yang
hidup didaerah-daerah yang sudah mengikuti pemilihan umum untuk memilih wakil
rakyat yang terpilih untuk menduduki kursi di DPR, dalam prinsip “Bhinneka
Tunggal Ika” DPR adalah mewakili prinsip Tunggal, yaitu satu kepentingan, yaitu
kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan sebagaimana sila keempat. Tetapi Dewan Perwakilan
Daerah hakekatnya mewakili Daerah Otonom yang masing masing memiliki
karakteristik yang beraneka ragam, oleh karena itu DPD itu mewakili prinsip
Bhinneka atau mewakili persatuan Indonesia pada sila ketiga Pancasila.
1.Konstruksi
Hukum Tata Negara DPD RI Pasca Keputusan MK.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
27 TAHUN 2009
TENTANG
MAJELIS
PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN
PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan
lembaga perwakilan daerah yang mampu
mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan
aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara;
Konstruksi
Hukum Putusan MK terhadap UU No MD3
Ø Putusan
MK dengan tegas menyatakan bahwa Pasal 102 ayat (1) huruf a, d, e, h dan Pasal
147 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, artinya setiap RUU yang
diajukan oleh DPD tidak lagi melalui proses di Badan Legislasi melainkan
diperlakukan setara dengan RUU yang diajukan oleh Presiden, dan akan tetap
dianggap sebagai RUU yang diajukan oleh DPD. Putusan ini jelas mengembalikan
jati diri DPD sebagai lembaga negara yang kedudukannya setara dengan DPR dan
Presiden.
Ø Satu
nafas dengan putusan ini, Pasal 18 huruf (g), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat
(1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1) UU P3
dinyatakan dianggap berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang ditambahkan frasa “DPD”, yang
artinya mengakui keberadaan DPD sebagai lembaga negara yang memiliki hak dan
kedudukan yang sama dengan lembaga negara lainnya yaitu DPR dan Presiden untuk
mengajukan RUU.
Ø Pasal
143 ayat (5) UU MD3 juga dianggap dinyatakan berlaku dan memiliki kekuatan
hukum mengikat sepanjang ditambahkan
frasa, “... kepada pimpinan DPD untuk RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.”
Ø Hal
yang sama berlaku pula terhadap Pasal 144 UU MD3 dimana pasal ini dianggap
berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang ditambahkan frasa, “... dan
kepada pimpinan DPD untuk RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah.”
Ø Dalam amar putusannya pula, MK
menyebutkan bahwa Pasal 150 ayat (3) UU MD3 berlaku dan memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dimaknai ”DPD
mengajukan Daftar Isian Masalah (DIM) atas RUU yang berasal dari Presiden atau
DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah.”
Ø Dengan amar ini dapat disimpulkan
bahwa DPD berwenang untuk terlibat dan
membahas RUU mulai dari tahap pengantar musyawarah, tahap pengajuan dan
pembahasan DIM, dan tahap pendapat mini.
UU
NO 12 TAHUN 2011 PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban
melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana,
terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin
pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan
perundang-undangan yang baik, perlu dibuat
peraturan mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan;
Konstruksi Hukum
Pasal 1 angka 2 Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pasal angka 3.
Undang-Undang adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
BAB
III
JENIS,
HIERARKI, DAN MATERI MUATAN
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan
hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1) Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat(1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.
(2)Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
2.Analisis terhadap Kewenangan DPD RI dalam klasul
“ikut membahas dan mengajukan RUU”
1.
Kekuatan Hukum
berdasarkan hukum tata negara atau legalitas kedudukan dan fungsi DPD RI Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor
92/PUU-X/2012 yang diketok pada 27 Maret 2013. Keputusan MK ini sifatnya final
dan mengikat maka harus dilaksanakan hasil judicial review mengenai kedudukan,
wewenang dan fungsi DPD RI. Keputusan MK nomor 92/PUU-X/2012 hendaknya dilihat
secara positif oleh semua pihak sehingga memiliki komitmen bersama untuk
melaksanakannya.
2.
Untuk memahami harus dikembalikan kepada PAHAM KONSTITUSIONAL
yang dianut negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (2) yang
menyatakan: “Kedaulatan berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”
3.
Konstruksi semiotika hukum berdasarkan analisis
hermenuetika hukum tata negara terhadap konstruksi normatif “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”,maka
secara hukum tata negara Keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 92/PUU-X/2012 yang diketok pada 27 Maret 2013
harus dilaksana menurut Undang-Undang Dasar, mengapa demikian, karena putusan
MK tersebut telah memberikan tafsir resmi terhadap UU MD3, artinya DPR harus
tunduk dengan PAHAM KONSTITUSIONAL.
4.
DPR
dan DPD adalah juga pelaksana kedaulatan rakyat menurut Unang-Undang Dadsar,
karena secara hukum tata negara baik UU No 27 Tahun 2009 (MD3) dan UU No 12
Tahun 2011(P3) sebagaimana secara tegas dinyatakan sbb:
Pasal
1 angka 3 UU No 27 Tahujn 2009. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disingkat
DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun
1945
Pasal
1 angka 15 UU No 12 Tahun 2011. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya
disingkaT DPD adalah Dewan Perwakilan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
5.
Secara hukum tata negara DPR sebagai perumus UU No
27 Tahun 2009 dan UU No 12 Tahun 2011 secara konstruksi HTN mengakui secara
tegas, bahwa DPD adalah yang dimaksudkan adalah DPD dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Artinya jika saja lembaga negara diakui secara peraturan perundang-undangan
oleh DPR, mengapa kewenangannya direduksi?
6.
Secara
Konstruksi Hukum Tata Negara hanya ada satu tafsir, bahwa DPR wajib
melaksananakan Keputusan
MK nomor 92/PUU-X/2012. Pertanyaan dimana dasar kewajibannya secara peraturan
perundang-undangan ?
Dasar hukumnya ada didalam UU No 27
Tahun 2009 sendiri, yakni yang berkaitan dengan mengajukan RUU dan ikut
membahas RUU yang berkaitan dengan wewenang DPD RI sebagaimana dimaksud pada
bagian Tugas
dan Wewenang DPR
Pasal 71
DPR mempunyai
tugas dan wewenang:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang
yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
c. menerima rancangan undang-undang yang
diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. membahas rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
e. membahas
rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden;
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan
yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama;
7. Berdasarkan klasul pasal 67 UU No 27 Tahun
2009, maka secara hukum tata negara semakin mengikat DPR dengan Keputusan MK nomor 92/PUU-X/2012.Karena secara
konstruksi hukum tata negara pasal 67 selaras dengan putusan MK tersebut jika
ada anggota DPR yang tidak melaksanakan putusan MK dan Pasal 67 dan UUD Neg RI
1945, makan anggota DPR akan bertentangan dengan UU No 27 Tahun 2009 sendiri,
yakni Paragraf
2 Kewajiban
Anggota Pasal 79 Anggota DPR mempunyai kewajiban:
a. memegang
teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundangundangan;
8.
Jika pasal 102 Putusan MK dengan tegas menyatakan bahwa Pasal 102 ayat
(1) huruf a, d, e, h dan Pasal 147 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
kemudian pasal ini masih dipertahankan oleh DPR maka anggota DPR tidak
melaksanakan Pasal 79.
9. Persoalannya sebenarnya apakah Putusan MK
nomor 92/PUU-X/2012 termasuk regulasi atau mencakup peraturan yang disamakan
dengan jenis peraturan perundang-undangan, jika kita analisis UU No 12 Tahun
2011 pada Pasal
8:
(1) Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat(1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan “Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat. (2)Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
10. Berdasarkan
Pasal 8 ayat (1) dan (2) secara hukum taa negara memberikan konstruksin hukum,
bahwa Keputusan MK dipahami sebagai mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
lembaga negara salah satunya MK, bagaimana kekuatan hukum mengikatnya ? Pasal 8
ayat (2) yang menyatakan :” diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.
11. Bukankan MK
ketika mengeluarkan Putusan MK berdasarkan kewenangannya sebagaimana dimaksud
pasal 24 c ayat (1) UUD Neg RI 1945 yang menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar,..”
12. Berdasarkan
konstruksi analisis di atas, maka Putusan MK sebenarnya tidak harus menunggu
amandemen UU No 27 Tahun 2009 dan Revisi UU No 12 Tahun 2011karena putusan MK
adalah mencakup sebagai peraturan yang ditetapkan dan kekuatan hukum
mengikatnya dibentuk berdasarkan kewenangan MK dan diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dari UU MD3 dan UUP3 adalah UUD Neg RI 1945, termasuk didalamnya Pasal
22 D yang berkaitan dengan kewenangan DPD RI.
13. Dengan demikian
Secara legalitas
kedudukan dan fungsi DPD RI semakin kuat berdasarkan Keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) nomor 92/PUU-X/2012 yang diketok pada 27 Maret 2013 lalu.
Keputusan MK ini sifatnya final dan mengikat maka harus dilaksanakan hasil
judicial review mengenai kedudukan, wewenang dan fungsi DPD RI. Keputusan MK
nomor 92/PUU-X/2012 hendaknya dilihat secara positif oleh semua pihak sehingga
memiliki komitmen bersama untuk melaksanakannya.
14. Keputusan MK itu memberikan ruang
buat DPD RI berfungsi dalam proses legislasi bersama DPR RI dalam proses
pembahasan yang terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) menyangkut atau terkait
dengan kepentingan daerah pada pembahasan tingkat pertama. Keputusan Mahkamah
Konstitusi telah memutuskan bahwa DPD RI berhak untuk turut serta dalam
mengajukan dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) di DPR bersama
Pemerintah. Artinya, dengan adanya Keputusan MK tersebut maka semua
undang-undang terkait kedaerahan yang dalam pembahasannya tidak melibatkan DPD
RI dapat dinilai cacat hukum atau inkonstitusional.
15.Keputusan MK nomor 92/PUU-X/2012
juga memberikan legalisasi bahwa sebagai lembaga negara, DPD RI berhak menyusun
program legislasi nasional bersama DPR dan Pemerintah. Keputusan MK nomor
92/PUU-X/2012 harus disosialisasikan sehingga rakyat mengetahuinya dan dapat
menilai hasil kerja yang dilakukan DPD RI untuk kepentingan daerah yang
diwakilinya.
16.Di samping itu, anggota DPD RI
harus lebih aktif untuk menginventaris masukan dari berbagai lapisan
masyarakat, rakyat yang diwakilinya, menerima masukan dari kalangan akademisi,
para ahli dan praktisi yang ada di daerah. Hal-hal yang menyangkut masalah
daerah dan undang-undang tentang kemajuan daerah termasuk rencana amandemen
kelima UUD 1945. Keputusan MK dari permohonan judicial review yang diajukan DPD
RI terkait dengan tugas, wewenang dan fungsi DPD RI memberikan dampak
signifikan dalam mengubah ketatanegaraan di Indonesia.
17. Untuk selanjutnya, DPD RI akan
terlibat dalam program legislasi nasional (Prolegnas) yang berhubungan dengan
otonomi daerah dan semua kebijakan yang terkait dengan daerah. Adanya keputusan
MK yang memberikan kewenangan yang sama kepada DPD RI dengan DPR RI dalam hal
penyusunan prolegnas akan dapat mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menariknya, kedudukan DPD RI dan DPR RI serta Presiden akan menjadi bersifat
tripartit dalam hal pembahasan RUU, bukan seperti yang ada selama ini.
18.Terhadap fungsi dan kedudukan
legislasi DPD RI pasca keputusan MK satu hal yang baik. Namun, keputusan MK itu
harus diiringi dengan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran sehingga terjadi
keseimbangan di parlemen. Bila tidak dibarengi dengan fungsi pengawasan dan
anggaran dikhawatirkan akan terjadi bikameralisme (sistem dua kamar di
parlemen).
19. Pemahaman fungsi dan kedudukan
DPD RI semakin penting dan perlu disosialisasikan agar jelas dan tegas sehingga
pandangan skeptis terhadap lembaga negara termasuk DPD RI dapat dihilangkan dan
mengakui lembaga DPD RI sebagai daerah perwakilan yang diwakilinya. Kedudukan,
wewenang dan fungsi DPD RI harus dipahami, rakyat secara luas agar bisa melihat
kinerja DPD RI lebih terukur sebab pasca Keputusan MK akan membuat DPD RI lebih
berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan daerah.
20. DPD RI harus lebih banyak
melakukan sosialisasi kepada masyarakat, agar dapat mengetahui, memahami
wewenang, kedudukan dan fungsi anggota DPD RI dalam melakukan fungsi
representatif bagi rakyat, masyarakat pada daerah pemilihan anggota DPD RI.
Peran, fungsi dan aktualisasi DPD RI di Senayan yang jumlahnya sedikit
dibanding DPR RI harus dipahami masyarakat secara baik. Hal itu karena jika
masyarakat, dapat memahami secara baik tugas, fungsi dan wewenang DPD RI maka
akan menghasilkan kerja yang baik bagi para anggota DPD RI.
21. DPD RI harus dapat menjadi
penyeimbang dari penerapan desentralisasi meskipun keputusan masih di tangan
pemerintah pusat. DPD RI dengan tugas dan wewenangnya yang diputuskan MK itu
akan lebih mudah mengimplementasikan keinginan masyarakat dari daerah yang
diwakilinya. Artinya kepentingan daerah akan terpenuhi karena sekarang ini DPD
RI diperkenankan mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah. Hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi akan lebih tepat sasaran
karena DPD RI lebih mengetahui karakteristik daerah yang diwakilinya.
22. Keputusan MK nomor 92/PUU-X/2012
diputuskan pada 27 Maret 2013 dinyatakan, bahwa DPD RI dapat mengajukan RUU dan
ikut membahas RUU yang diajukan itu dalam sidang dengan DPR RI dan Presiden RI.
Kedudukan, wewenang dan fungsi DPD RI yang telah direvitalisasi dan diputuskan
dalam keputusan MK mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat. Kondisi ini
menjadikan peluang DPD RI ikut serta dalam pembangunan bangsa dan negara
semakin besar.
23. Menurut UU Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ada tiga substansi fungsi legislasi Pertama,
kewenangan pengajuan RUU yang berkaitan dengan bidang kerja masing-masing.
Kedua, kewenangan pembahasan RUU bersama DPR dan Pemerintah. Ketiga hak DPD RI
untuk memberikan pertimbangan kepada DPR RI dalam pembahasan RUU APBN, pajak,
pendidikan dan agama.
24.Memperjuangkan
Kepentingan Daerah
dalam kaitan ini DPD RI mempunyai catatan tersendiri dalam memperjuangkan
kepentingan rakyat di daerah seperti pada prolegnas. DPD RI memiliki parameter
penentuan prioritas agar prolegnas mempunyai tujuan yang jelas dan bermanfaat
bagi masyarakat di daerah. DPD RI mendorong adanya proses perencanaan
partisipatif yang melibatkan masyarakat agar legislasi yang diproses sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
25.Keikutsertaan DPD RI dalam
pembahasan Prolegnas merupakan kehendak dari UU Nomor 27 Tahun 2009, yang dalam
ketentuan Pasal 224 ayat (1) huruf (i) menyebutkan tugas dan wewenang DPD RI
adalah ikut serta dalam penyusunan Prolegnas yang berkaitan dengan bidang
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah dalam pembentukan dan pemekaran
daerah serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Maksud DPD RI “ikut serta” adalah memberikan masukan secara aktif
dengan mengajukan daftar RUU yang kemudian membahasnya dengan Baleg DPR RI.
26. DPD RI memandang bahwa
perkembangan ketatanegaraan sekarang ini telah terjadi tumpang tindih dan tidak
konsisten secara vertikal maupun horizontal dalam memperjuangkan kepentingan
daerah, sehingga diperlukan langkah-langkah strategis di antara lembaga
pembentuk undang-undang yang melibatkan DPD RI.
27. Kewenangan DPD RI harus dimulai
dari kebutuhan akan ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang
sama sekali tidak menginginkan Indonesia menjadi negara sentralistik. Hal itu
karena Indonesia dibangun berdasarkan keragaman suku bangsa sehingga sistem ketatanegaraan
menerapkan politik desentralistik yang berpedoman kepada kondisi kedaerahan.
Menyuarakan aspirasi daerah memiliki makna menyuarakan keanekaragaman
daerah-daerah.
28. Keputusan MK nomor 92/PUU-X/2012
akan membuat fungsi penyerapan aspirasi masyarakat oleh DPD RI semakin kuat.
Penyerapan aspirasi rakyat dilakukan dalam dua bentuk yakni langsung dan tidak
langsung. Penyerapan secara langsung dilakukan dalam berbagai kegiatan di
daerah masing-masing melalui dialog tatap muka, seminar atau lokakarya.
Aspirasi yang diserap ini kemudian dipilah dalam skala prioritas persoalan
mulai dari persoalan yang harus segera ditindakianjuti melalui mekanisme
konstitusional sampai hal-hal yang kurang urgen.
29.Penyerapan aspirasi secara tidak
langsung dilakukan melalui konsultasi dengan lembaga pemerintahan lokal,
menampung aspirasi yang disalurkan kepada DPRD atau pemerintah setempat.
Penyerapan tidak langsung lebih efisien dan bisa menguatkan kemitraan di
daerah. Anggota DPD RI harus mampu memperjuangkan kepentingan daerah ke
pemerintah pusat. Anggota DPD RI harus menjadi penghubung antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan masyarakat lokal.
30. Revitalisasi kedudukan dan
fungsi DPD RI dalam keputusan MK nomor 92/PUU-X/2012 sangat mendukung kinerja
DPD RI. Pelaksanaan tugas dan wewenang DPD RI sekarang semakin besar dan pada
masa datang masyarakat dapat memahami peran dan posisi DPD RI dalam peraturan
perundang-undangan, peningkatan peran DPD RI dalam menjembatani hubungan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah yang konstruktif dan sinergis
Pontianak,
18-12-2013
2 komentar:
Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Nama : Arafat
NIM : A01111211
Semester : 7
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Mahasiswa Reguler A FH UNTAN
Kedaulatan rakyat dalam sebuah negara bukanlah pelaksanaan pemerintahan dan penentuan kebijakan berdasarkan suara mayoritas saja, akan tetapi perlu juga mendengarkan aspirasi dari golongan-golongan yang menjadikan negara itu besar. Untuk itu dalam sebuah parlemen yang merepresentasikan rakyat, perwakilan rakyat melalui mekanisme Partai politik toidaklah cukup, perwakilan territorial juga diperlukan.. Kedaulatan rakyat Indonesia secara politik digambarkan oleh perwakilannya di DPR, maka DPD adalah representasi rakyat perspektif kedaerahan. Tidaklah adil jika kewenangan yang dimiliki rakyat secara umum jika DPD sebagai wakil daerah tidak mempunyai fungsi yang relatif sama dengan DPR, kan kedua lembaga tersebut sama-sama wakil rakyat.
Ada dua tujuan yang paling urgen mengapa desentarilsasi dengan otonomi daerah mesti diterapkan di Indonesia,Pertama, untuk pemantapan demokrasi politik. Demokrasi tanpa ada penguatan politik di tingkat lokal akan menjadi sangat rapuh, karena tidak mungkin demokrasi dibangun dengan haya memperkuat elite politik nasional. Hal ini dimaksudkan agar ada kalangan atau elite daerah berjibaku di kancah politik nasional, pintu masuk utamanya adalah melalui DPD.
Kedua, terjadinya keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Sumber daya yang terdapat di sebuah daerah sudah seharusnya dipelihara, dijaga dan dinikmati oleh masyarakat daerah itu sendiri. Mana mungkin masyarakat daerah akan menikmati sumber kekayaan alamnya jika produk legislasi nasional yang menyangkut sumber daya alama sama sekali tidak memihak kepada mereka, yang ada semua keayaan yang dimiliki daerah diangkut ke pusat, akibatnya daerah hanya gigit jari tanpa berbuat apa-apa. Hal yang perlu diharapkan untuk memperjuangkan itu adalah para senator yang ada di senayan, namun karena tidak punya fungsi legislasi yang kuat maka hal itu tidak memberikan jawaban yang baik kepada rakyat di daerah
Perlunya penguatan kelembagaan DPD adalah suatu kebutuhan demi kelangsungan otonomi daerah, sekaligus kelangsungan Negara kesatan Republik Indonesia. DPD perlu diberikan fungsi legislasi yang relatif sama dengan DPR, khususnya menyangkut kebijakan otonomi daerah, keuangan negara, perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta persoalan-persoalan dalam negeri lainnya. Perluasan fungsi legislasi ini dimaksudkan ialah memberikan kewenangan kepada DPD untuk merancang, membahas sampai pada pengesahan produk hukum yang menyangkut persoalan-persoalan di atas. Hal ini diperlukan karena DPD sebagai wakil wilayah mutlak harus memperjuangkan daerah yang diwakilinya.
Sebagai lembaga yang mewakili daerah dan bertanggung jawab kepada daerah, pemberian kewenangan legislasi kepada DPD, jika dilihat dari pelaksanaan otonomi daerah, yang relatif setara dengan DPR akan mempunyai manfaat ganda. Manfaat pertama ialah sebagai pendidikan politik bagi masyarakat daerah di kancah perpolitikan nasional, selain itu juga komunikasi dan sosialisasi politik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berjalan dengan baik melalui wakil-wakil daerah yang ada di DPD. Manfaat kedua yaitu bisa meredam gejolak yang timbul akibat ketidak adilan pemanfaatan hasil alam, sebab pemerintah pusat tidak bisa disalahkan lagi karena wakil-wakil daerah telah mempunyai kewenangan yang sepadan dalam memperjuangkan nasip daerahnya, yang terjadi hanya pertarungan politik di parlemen yang dilakukan oleh para senator. Dengan begitu konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa tidak perlu terjadi.
Nama : Alma Annisa Imanda
NIM : A1011171133
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Kelas : E
Semester : 2
Regular : A
Dosen : Turiman SH,MH
Fakultas : Hukum Universitas Tanjungpura
Assalamualaikum Wr,Wb
Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih kepada bapak Turiman yang telah memberikan artikel yang berjudul Kerangka Konsep Penguatan DPD RI Pasca Putusan MK Berdasarkan Analisis Konstruksi Hukum Tata Negara “ sebagai Pengantar Ketatanegaraan DPD di Indonesia pada blog ini, sehingga sangat bermanfaat dan menambah wawasan ilmu pengetahuan saya setelah saya membaca dan mencermatinya.
Saya menjadi lebih tahu bahwa terdapat 10 isu strategis, tetapi yang terpenting dalam konstruksi hukum tata negara adalah Memperkuat Lembaga Perwakilan, karena esensi terpenting dari perubahan secara Sistem Ketatanegaraan Indonesia pada formatnya seharusnya harus mampu menjabarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika dalam negara persatuan Indonesia.
Melalui Pasal 18 huruf (g), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1) UU P3, Pasal 143 ayat (5) UU MD3, serta Pasal 150 ayat (3) UU MD3 dapat disimpulkan bahwa DPD berwenang untuk terlibat dan membahas RUU mulai dari tahap pengantar musyawarah, tahap pengajuan dan pembahasan DIM, serta tahap pendapat mini. Putusan ini jelas mengembalikan jati diri DPD sebagai lembaga negara yang kedudukannya setara dengan DPR dan Presiden.
Hal ini tentunya memiliki arti mengakui keberadaan DPD sebagai lembaga negara yang memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan lembaga negara lainnya untuk mengajukan RUU. Penjabaran dan penjelasan yang ringkas ialah bahwa DPD mengajukan Daftar Isian Masalah (DIM) atas RUU yang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah.
Fungsi DPD RI terpenting adalah harus lebih aktif untuk menginventaris masukan dari berbagai lapisan masyarakat, rakyat yang diwakilinya, menerima masukan dari kalangan akademisi, para ahli dan praktisi yang ada di daerah. Hal-hal yang menyangkut masalah daerah dan undang-undang tentang kemajuan daerah termasuk rencana amandemen kelima UUD 1945. Keputusan MK dari permohonan judicial review yang diajukan DPD RI terkait dengan tugas, wewenang dan fungsi DPD RI memberikan dampak signifikan dalam mengubah ketatanegaraan di Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa perlunya kejujuran dan penguatan kelembagaan DPD, demi terwujudnya suatu sistem otonomi daerah yang lancar. Serta pemberian hak dan fungsi dari legislasi yang sama dengan DPR RI. Fungsi tersebut memiliki beberapa manfaat yaitu pendidikan politik bagi masyarakat daerah di kancah perpolitikan nasional, komunikasi dan sosialisasi politik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berjalan dengan baik melalui wakil-wakil daerah yang ada di DPD serta bisa meredam gejolak yang timbul akibat ketidak adilan pemanfaatan hasil alam. Hal inilah yang menjadi suatu harapan besar bagi kemajuan daerah-daerah.
Demikian komentar yang dapat saya sampaikan, atas perhatian bapak saya mengucapkan terimakasih.
Posting Komentar